Rabu, 25 April 2012

Sekilas budaya Konsumerisme



Keinginan untuk memiliki sesuatu sesuai kebutuhan adalah hal yang wajar karena pada dasarnya manusia bekerja dan berusaha untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Namun pemenuhan keinginan dalam hal mendapatkan segala sesuatu diluar kebutuhan hidup secara berlebihan
dan terjadi secara berkesinambungan (kecanduan), masih bisakah dikatakan sebagai hal yang wajar? Prilaku seperti ini dikenal dalam bermasyrakat dengan istilah konsumerisme. Dan kita yang hidup dengan budaya tersebut cendrung bersifat konsumtif.

Konsumtif, Prilaku ini kerap digambarkan dengan obsessi yang berlebih untuk mendapatkan produk produk tertentu yang erat kaitannya dengan nilai prestise dan arogansi tanpa mengedepankan unsur suatu fungsi. Prilaku ini lebih berorientasi kepada keinginan diluar batas kewajaran rasional untuk mengkonsumsi ataupun memiliki suatu benda seperti halnya suatu kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi.

Keinginan seperti ini apabila dibiarkan terjadi secara berkesinambungan akan menjadi suatu ketergantungan yang complex yang nantinya akan membentuk suatu tatanan sosial dengan cara pandang matrealistis. Kecendrungan yang bersifat materi ini biasanya hadir dalam gaya hidup ataupun produk produk tertentu yang hanya berguna untuk kepuasan semata. Mereka yang sudah menjadikan pola hidup konsumtif sebagai pemuasan cendrung menganggap nilai suatu produk lebih dari sekedar fungsi.


Tyler: Do you know what duvet is?
Narrator: it’s comforter...
Tyler: it’s blanket. Just blanket. Now why do guys like you and me know what duvet is? Is this essential to our survival, in the hunter-gatherer sense of the word? No. What are we then?
Narrator: Consumers?
Tyler: Right. We are Consumers. We’re the by product of a lifestyle obssesion
(Fight Club 1999)

Sekilas penggalan percakapan diatas adalah penggambaran bagaimana prilaku konsumtif telah merubah cara pandang satu individu terhadap suatu produk yang yang bahkan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kelangsungan hidup mereka. Fatamorgana yang dihadirkan oleh prilaku konsumtif seakan akan membius setiap individu yang berada disekelilingnya. Sehingga tanpa disadari mereka cendrung memberi definisi yang berlebih atau lebay (bahasa anak gaul zaman sekarang) tanpa melihat lagi fungsi atau kegunaan dari suatu produk tersebut.

Merupakan suatu hal yang tidak bisa di pungkiri bagaimana budaya konsumerisme meracuni setiap pemikiran individual individualnya yang memang tidak pernah merasa puas untuk tetap mencari sesuatu guna melengkapi kekurangannya. Tidak pernah puas sejatinya merupakan sifat dasar manusia untuk berusaha menjadi lebih baik. Tanpa adanya pengendalian diri dalam hal yang berhubungan dengan sifat dasar manusia tersebut, tak heran jika budaya konsumerisme dengan mudahnya mengiring siapapun yang berada dilingkungannya menjadi pribadi yang tidak pernah berkecukupan secara materi apalagi merasa bersyukur terhadap segala sesuatu yang telah dimiliki.

Berbagai hal menarik yang ditawarkan suatu produk membuat kita lupa diri dalam hal mengkonsumsi sesuatu secara rasional. Hal itu semakin menjadi jadi oleh gencarnya iklan dan advertising advertising yang timbul diberbagai media. Mereka mempunyai trik trik yang memanfaatkan Hasrat dan kelatahan kita dalam meniru dari setiap bentuk kemajuan peradaban, terlebih lagi yang berhubungan dengan gaya hidup dan prestise. 

Iklan dari suatu produk benar benar memanfaatkan kita sebagai objek yang akan memberikan keuntungan bagi mereka yang berada dibaliknya. “Advertising has us car and clothes working jobs we hate so we can’t buy shit we don’t need” (Fight Club 1999). Sifat yang tidak pernah puas didukung oleh daya tarik advertising dalam mempromosikan produk mereka, merupakan perpaduan yang tepat untuk mendorong kita berprilaku semakin konsumtif.



Lingkungan sosial juga ikut andil dan berperan serta menciptakan lahan subur untuk menyebarluaskan benih benih konsumerisme. Seperti diantaranya kaum sosialita (yang sampai sekarang gw bingung kenapa bisa...mereka dijuluki sosialita tanpa adanya cerminan prilaku sosial yang sesuai dengan penamaannya) yang saling berlomba lomba menunjukan pernak pernik perhiasan yang mereka kenakan pada suatu acara arisan misalnya. Tidak jarang dari mereka saling menginformasikan apa, bagaimana, dan dimana bisa mendapatkan pemenuhan pemenuhan atas pola hidup konsumtif tersebut.



Itu belum termasuk pola pikir sebagian masyarakat kita yang cendrung meniru. Berbondong bondong Ingin memiliki ataupun melakukan sesuatu yang sedang booming, contoh; kalo pacaran harus ke mol yah sekedar makan ataupun nonton dibioskop (yang lain ikutan), Makan ditempat tertentu yang berkelas (yang lain ikutan), penggunaan baju serta kelengkapan dengan merk tertentu dan terbaru sebagai indicator kalo mereka adalah manusia trendy yang fashionable dan sebagainya (yang lain juga ikutan).



Kebanyakan dari kita menganggap pola konsumtif merupakan sebuah kesenangan karena bisa memberikan kepuasan tersendiri bagi yang melakoninya. Terlihat kepuasan yang berbeda dari mereka, perhatikan bagaimana kerabat atau teman teman anda mengekpresikannya, Misal; kebanyakan dari mereka yang ingin berbelanja menulis status dijejaring sosial seperti “Lagi di mol A, B atau C” atau mungkin sekedar menulis “Shopping Time” dengan bahagianya! Yang tanpa mereka sadari kalo sebenarnya mereka adalah korban! Iya...korban iklan dan gaya hidup yang tidak menentu. We are Victims of lifestyle obsession!!!!!!!!!



Pola hidup sebagian mayarakat yang gemar “mengkonsumsi” lambat laut akan membuat kita menjadi malas dalam hal berkreasi, Karena dengan mudahnya kita bisa membeli. Dan parahnya kita tidak bisa mengasumsikan pola hidup konsumtif adalah sesuatu yang merugi karena memang pada saat ini kebahagian bisa diraih dengan materi, anda bisa mendapatkan apapun yang anda inginkan selagi anda bermandikan materi.


Bagaimanapun jua sikap hidup yang berlebihan bukanlah hal yang baik. Kosumerisme hanya akan membuat kita buta dan Menuhankan benda benda atau suatu produk. Terlebih penilaian terhadap suatu benda tidak lagi berdasarkan logika ataupun fungsinya. Jika sudah sampai pada level tertentu bisa membuat kita rela melakukan apapun untuk mendapatkannya.                                                            
 “the things you own end up owning you” (Fight Club 1999)

0 komentar:

Posting Komentar